Relativitas Budaya
Bangsa
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keberagaman multi etnis yang tinggi
dan terpencar di tiap jengkal daratan ribuan pulau. Lebih dari lima ratus
bahasa daerah dijadikan bahasa pengantar masyarakat di Indonesia yang
membuktikan, bahwa tingkat pluralitas etnis sangatlah tingg. Pluralitas etnis
menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang kompleks.
Masing-masing etnis memiliki karakteristik budaya berbeda. Karakteristik sistem
lingkungan masyarakat Indonesia yang mayoritas terpencar di pulau-pulau dengan
tipologi daratan berupa bukit dan pegunungan yang dipisahkan oleh hutan
belantara menyebabkan terjadinya diversitas budaya. Kondisi geografis tersebut
memungkinkan intensitas interaksi antar masyarakat rendah, sehingga kebudayaan
masyarakat berkembang mandiri dengan karakteristik budaya yang berlainan.
Diversitas budaya di antara etnis
yang tinggal di kepulauan Indonesia menandai, bahwa masing-masing masyarakat
etnis mempunyai sistem tata nilai, norma, adat istiadat, dan hukum adat yang
berbeda. Perbedaan sistem tata nilai, norma, adat istiadat, dan hukum adat masyarakat
menyebabkan penerapan suatu budaya luar belum tentu sesuai dengan budaya lokal
masyarakat. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh sistem budaya yang dianut
masing-masing masyarakat berlainan. Sistem tata nilai budaya yang dianggap baik
di suatu daerah, belum tentu di daerah lain akan dianggap baik. Realita ini
memunculkan suatu teori yang disebut relativisme budaya. Berdasar teori
relativisme budaya pemahaman mendalam terhadap kultur masyarakat merupakan
persyaratan mutlak sebelum ditarik suatu penilaian budaya. Hal ini berlaku pula
bagi identifikasi gejala sosial budaya, penentuan program pembangunan maupun
pemberdayaan masyarakat yang memiliki karakteristik sistem nilai, norma, adat
isitiadat dan hukum adat yang berbeda. Khususnya, masyarakat desa hutan yang
tinggal di dalam dan sekitar belantara hutan.
Identifikasi
gejala sosial secara mendalam berdasar karakteristik budaya setempat merupakan
langkah arif untuk mencapai tujuan program pembangunan ataupun pemberdayaan
masyarakat. Program pembangunan masyarakat diharapkan tepat sasaran dan sesuai
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat dengan berdasar pada sistem nilai,
norma, adat isitiadat, dan hukum adat masyarakat. Jangan sampai program
pembangunan yang dihasilkan merupakan refleksi program pembangunaan budaya
masyarakat lain ataupun berdasar dari kultur si perencana program, sehingga
tidak aplikatif di masyarakat yang menjadi sasaran. Hal ini untuk menghindari terjadinya
suatu pola penetapan program pembangunan yang didasarkan pada sikap etnosentris
pihak perencana pogram. Sikap etnosentris adalah suatu sikap yang
melihat suatu persoalan dari sudut pandang satu pihak (baca: perencana program).
Sikap yang didasarkan pada satu sudut pandang akan menggiring pada sikap stereotip
yang menilai budaya masyarakat dari kebiasaan secara umum (general).
Akibatnya obyektifitas gejala sosial budaya akan terbengkelai, sebab gejala
sosial budaya masyarakat hanya dipandang melalui pemahaman satu sisi dan tidak
dikaji secara menyeluruh (holistik). Pemahaman budaya masyarakat secara
umum akan menghasilkan suatu program pembangunan yang bersifat bias, sehingga
yang dihasilkan penyeragaman (uniformitas) program yang hanya sesuai
bagi perencana program. Dalam kajian ilmu sosial penyeragaman program sering
dimaknai sebagai cultural imperalism yang memaksa suatu masyarakat
mengikuti budaya masyarakat luar yang tidak sesuai dengan sistem nilai, norma,
adat istiadat, dan hukum adat yang dianut. Akibatnya, terjadi marginalisasi
budaya lokal. Budaya lokal terkalahkan oleh dominasi kekuasaan budaya luar.
Masyarakat desa hutan sebagai pemegang kendali budaya lokal dalam program
pembangunan hanya menjadi kelinci percobaan yang lambat laun keteraturan tata
budaya lokalnya terpinggirkan atau bahkan punah.
Pemahaman
relativitas budaya suatu masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan
kualitatif dengan cara mendengar, mengamati aktifitas budaya masyarakat, dan
melakukan dialog wawancara dengan pihak masyarakat. Jika dari proses
identifikasi gejala sosial budaya sudah terpahami, maka dilanjutkan penentuan
program pembangunan yang sesuai untuk diterapkan di masyarakat. Pemahaman teori
relativitas budaya sangat penting bagi para ahli kehutanan sosial untuk
menyusun program pembangunan masyarakat desa hutan. Seorang ahli kehutanan
sosial sebaiknya belajar (learning) sistem tata nilai, norma, adat
isitiadat, dan hukum adat masyarakat yang dijadikan sasaran program agar
memahami (understanding) karakteristik budaya masyarakat, sehingga mampu
memaknai (meaning) dan menentukan program pembangunan yang layak terap
untuk kebaikan hidup masyarakat desa hutan.
Jikalau,
konsep relativitas budaya ini dapat dipahami dan dimaknai secara benar oleh
ahli kehutanan sosial tentunya program pembangunan yang dicetuskan akan mampu
mewujudkan suatu integrasi kultural dengan sistem tata nilai, norma, adat
istiadat, dan hukum adat masyarakat desa hutan. Akulturasi program pembangunan
yang bersendi pada budaya masyarakat akan mendorong terciptanya keberhasilan
program dan integrasi program yang harmonis. Relativitas program pembangunan
yang didasarkan oleh karakteristik budaya masyarakat akan lebih tepat sasaran
dengan tataran hasil yang memuaskan. Masyarakat desa hutan merasa diakui dan
diberi kesempatan partisipasinya, sehingga timbul rasa tanggung jawab untuk
menjaga dan menyukseskan program pembangunan.
sumber :http://murtijo.wordpress.com/2009/03/23/relativitas-budaya/
0 Response to "Relativitas Budaya"
Posting Komentar