FENOMENA KONSEP KEBUDAYAAN INDONESIA
KEBUDAYAAN NASIONAL
Kebudayaan
Nasional Indonesia adalah segala puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan
yang bernilai di seluruh kepulauan, baik yang lama maupun yang ciptaan
baru, yang berjiwa nasional (Dewantara; 1994).
Kebudayaan
Nasional Indonesia secara hakiki terdiri dari semua budaya yang
terdapat dalam wilayah Republik Indonesia. Tanpa budaya-budaya itu tak
ada Kebudayaan Nasional. Itu tidak berarti Kebudayaan Nasional sekadar
penjumlahan semua budaya lokal di seantero Nusantara. Kebudayan Nasional
merupakan realitas, karena kesatuan nasional merupakan realitas.
Kebudayaan Nasional akan mantap apabila di satu pihak budaya-budaya
Nusantara asli tetap mantap, dan di lain pihak kehidupan nasional dapat
dihayati sebagai bermakna oleh seluruh warga masyarakat Indonesia
(Suseno; 1992).
Dalam
pasal 32 UUD 1945 dinyatakan, “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang
timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya.
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan
di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai Kebudayaan
Bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan
persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing
yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri,
serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia” (Atmadja, dalam
“Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).
AKAR KEBUDAYAAN INDONESIA
Berikut
ini akan penulis kutipkan mengenai sejarah nenek moyang bangsa
Indonesia dari tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam pidato
kebudayaannya yang berjudul “Situasi Akar Budaya Kita”.
Nenek
moyang kita adalah bahagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak
di zaman lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang
dari layar sejarah, bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian
Utara wilayah Balkan sekitar laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia,
masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok arus perpindahan ini bercabang-cabang
ke utara, timur dan selatan.
Arus
selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo
Cina. Di sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia
yang berpindah dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan
itu adalah orang Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin
termasuk orang Teuton, yang memulai perpindahan mereka di abad ke-9
hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa. Mereka membawa keahlian membuat besi
dan perunggu.
Nenek
moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di
daerah Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa banyak
ornamentik yang dekoratif. Dari pendatang-pendatang baru ini mereka
mengambil alih, menerima, dan mencernakan seni ornamentik
pendatang-pendatang dari barat ini. Tidak saja dalam ornamentik, akan
tetapi juga dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan antara hiasan
tenun Indonesia dan Balkan umpamanya), dan juga dalam musik dan nyayian.
Jaap Kunst, seorang ahli musik, juga ahli musik Indonesia
mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau Flores dengan
nyanyian rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan). Kebudayaan Dongson
menunjukkan lebih banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa
dibanding budaya Cina.
Nenek
moyang Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian mencapai
Nusantara. Di Nusantara hampir tidak ada perpisahan antara zaman
perunggu dan zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di Indo Cina. Dalam
penggalian situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan
bersama-sama. Hulu pisau dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris
Majapahit. Bentuk hulu pisau yang serupa juga ditemukan di Holstein
(Jerman), Denmark, dan di Kauskasus.
Tetapi,
sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-kelompok
manusia lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir,
kurang lebih 15.000 tahun sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara
menunjukkan bahwa sebagian besar Nusantara bagian barat menyatu dengan
daratan Asia Tenggara, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan wilayah yang kini
laut Jawa. Ketika es berakhir, permukaan laut naik kembali, dan
terbentuklah gugusan pulau-pulau seperti yang kita kenal kini. Sejarah
bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada perkembangan manusia
Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang kurang lebih 1000
tahun sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip tua Hebrew
dari masa akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah
menyebut perdagangan kulit manis dari berbagai tempat sepanjang pantai
timur Afrika.
Sebuah
naskah Arab dari abad ke 13 menceritakan masuknya orang
Melayu-Polinesia ke belahan barat Samudera Hindia. Naskah itu mengatakan
bahwa di masa mundurnya Kerajaan Fira’un di Mesir, tempat yang bernama
Aden, yang menguasai jalan masuk ke laut Merah (yang masa itu merupakan
tempat penduduk nelayan), telah direbut oleh orang Qumr
(Melayu-Polinesia) yang datang dengan armada yang terdiri dari
perahu-perahu yang memakai cadik. Mereka mengusir penduduk setempat,
membangun berbagai monumen dan memilihara hubungan langsung dengan pulau
Madagaskar dan Asia Tenggara. Para ahli sejarah menyebutkan hal itu
mungkin terjadi di masa Nabi Isa masih hidup. Untuk masa yang cukup lama
orang Melayu-Polinesia menguasai pelayaran dan perdagangan lewat
Samudera Hindia dari Asia Tenggara ke pintu Laut Merah, sepanjang pantai
timur Afrika dan Pulau Madagaskar.
Dalam
melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya ke
Madagaskar dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan
barat pulau itu. Hingga kini masih terlihat berbagai persamaan kata
antara bahasa Madagaskar dan bahasa suku Manyaan di Kalimantan. Ke
timur, nenek moyang Melayu-Polinesia ini berlayar jauh ke pedalaman
pasifik, menetap di berbagai kepulauan, dan mereka paling ke timur
mencapai Easter Island, pulau terjauh ke timur dari Nusantara.
Jelaslah
bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah, ke masa
silam yang begitu jauhnya, hingga telah lenyap dari ingatan bangsa kita.
Jelas pula bahwa kita telah mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu,
di samping nenek moyang kita telah memberi pula sumbangan pada
budaya-budaya bangsa lain di seberang Samudera Hindia, serta menciptakan
berbagai budaya di Madagaskar, dan di kepulauan-kepulauan Samudera
Pasifik.
Mengingat
ini kembali, apakah kita kini, sebagai pewaris langsung dari mereka,
harus merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya
tidak! Kita harus berani memeriksa diri secara cermat. Apa
kekurangan-kekurangan kita kini, hingga kita tidak memiliki kemampuan,
keberanian dan daya cipta untuk berbuat yang besar-besar bagi bangsa
kita dan umat manusia hari ini?
Proses
melalui zaman Mesolitik mencapai zaman Neolitik mungkin terjadi kurang
lebih 3500-2500 tahun sebelum Nabi Isa. Ketika itu mereka mulai tinggal
bersama dalam komunitas-komunitas kecil dan mulai mengembangkan
pertanian dan sistem pengairan. Di zaman ini berkembang akar budaya
musyawarah Indonesia, karena di kala itu belum ada kepala dan raja, dan
semuanya masih dimusyawarahkan oleh semua anggota komunitas, dipimpin
oleh orang-orang yang lebih tua. Wanita ikut bermusyawarah, dan
anak-anak boleh hadir dan ikut mendengar. Di suku Sakudei di pulau
Mentawai, seorang peneliti Swiss melaporkan bahwa dia masih menemukan
tradisi musyawarah yang lama itu.
Akar
budaya kita juga tumbuh dalam kepercayaan bahwa segala yang ada di bumi
memiliki ”ruh-ruh” sendiri. Ruh manusia adalah saudaranya, yang dapat
melepaskan diri dari dalam badan seseorang, dan ruh itu dapat mengalami
bencana dalam petualangannya di luar tubuh kita, yang dapat
mengakibatkan yang punya tubuh jatuh sakit atau mati. Manusia harus
berbaik-baik dalam hubungannya dengan dunia roh ini.
Selanjutnya
nenek moyang kita di masa Megalitik itu memiliki konsep hubungan dan
pertentangan antara dunia atas dan dunia bawah. Dalam upacara-upacara
khusus, mereka membangun megalith-megalith dengan tujuan melindungi ruh
dari bahaya-bahaya yang datang dari dunia bawah, untuk menjadi
penghubung antara yang hidup dan yang telah mati, dan untuk mengabadikan
kekuatan-kekuatan magis mereka yang membangun megalith-megalith
tersebut, atau untuk siapa batu-batu itu dibangun. Megalith-megalith
dibangun untuk memperkuat kesuburan manusia, ternak dan apa yang mereka
tanam, dan dengan demikian memperbesar kekayaan generasi-generasi yang
akan datang.
Kebudayaan
Megalitik ini kemudian dimasuki oleh budaya Dongson yang membawa
teknologi perunggu dan besi, dan memberikan nafas dan kekuatan serta
daya cipta baru pada kelompok-kelompok budaya di Nusantara. Diperkirakan
pula bahwa budaya Dongson membawa teknologi bertanam padi di sawah.
Teknologi padi sawah mendorong komunitas-komunitas kecil untuk lebih
berintegrasi mengembangkan dan memilihara sistem pengairan, koordinasi
bertanam serempak pada waktu yang sama. Dalam proses sejarah, teknologi
padi sawah ini telah mendorong proses integrasi masyarakat-masyarakat
desa Indonesia yang hingga kini tumpuan kehidupan terbesar bangsa kita.
Ia juga erat hubungannya dengan irama iklim, datang musim kering dan
musim hujan, yang mempengaruhi pola kehidupan di Indonesia. Musim panen
merupakan musim perkawinan umpamanya.
Pemujaan
nenek moyang merupakan salah satu akar budaya bangsa Indonesia.
Pandangan kosmik mengenai kontradiksi antara dunia bawah dan dunia atas
tercermin dalam organisasi sosial berbagai suku bangsa kita; garis ibu
dan garis ayah, hubungann dasar antara dua suku yang saling mengambil
laki-laki dan perempuan dari dua suku untuk perkawinan, membuat tiada
satu suku lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Setiap suku
bergantian menduduki tempat yang superior dan tempat di bawah. Struktur
tradisi kesukuan ini merupakan sebuah mekanisme ke arah demokrasi, yang
seandainya kita pandai mengembangkannya dapat merupakan kekuatan untuk
tradisi demokrasi bangsa kita.
Datangnya
agama Budha, Hindu dan Islam, bangkitnya feodalisme, lalu datang orang
Eropa membawa penindasan penjajah, dan agama Nasrani, lalu lewat
pendidikan Barat masuk pula ilmu pengetahuan modern dan tekonologi
modern telah mendorong berbagai proses kemasyarakatan, politik, ekonomi,
dan budaya, yang akhirnya membawa manusia Indonesia pada keadaan hari
ini.
Akar
budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya tanpa
kita sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya
feodalisme di Indonesia dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan
kecil telah mengubah hubungan antara kekuasaan dan manusia atau anggota
masyarakat. Penjajahan Belanda menggunakan sistem menguasai dan
memerintah melalui kelas bangsawan atau feodal lama Indonesia telah
meneruskan tradisi feodal berlangsung terus dalam masyarakat kita.
Malahan setelah Indonesia merdeka, hubungan-hubungan diwarnai
nilai-nilai feodalisme masih berlangsung terus, hingga sering kita
mengatakan bahwa kita kini menghadapi neo-feodalisme dalam bentuk-bentuk
baru.
Semua
pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang
datang dari Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan
Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama
dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkritisme manusia
Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa banyak konflik dalam
jiwa dan diri kita.
Sesuatu
terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu memisahkan
yang satu dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana yang
bayangan, mana yang kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata.
Malahan banyak orang kini membuat ilmu dan teknologi jadi takhyul dalam
arti, orang percaya bahwa ilmu dan teknologi dapat menyelesaikan semua
masalah manusia di dunia. Dan ada yang berbuat sebaliknya.
Kita
jadi tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal.
Karena itu beramai-ramai dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi
besar-besaran, dan tidak merasa bersalah sama sekali (Lubis, dalam
”Pembebasan Budaya-Budaya Kita; 1999).
KEBUDAYAN BARAT DI INDONESIA
Proses
akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur,
dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat
dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang
lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus
pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional
yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan
tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul
reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana
baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan
Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi
overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan
aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat
Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker;
1984).
Apakah
kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan
Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan
definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno
dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam
Kebudayaan Barat Modern:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama
kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan
Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak
Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern
jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah
menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat,
misalnya dari Jepang.
Kebudayaan
Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan
simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan
menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan
hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang
diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat:
media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam
peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk
kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam
pembuatannya.
Kebudayaan
Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas
nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai
implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen
Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala
macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa
mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing.
Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari
kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya
sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu
terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan
teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup
pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan
terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan
Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di
lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi
tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop
dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun
sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang;
semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan
batin.
Kebudayaan
Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan
hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia
artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas
kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin
membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan
pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin
kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak
nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak
Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan
membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang
dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran
ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu
dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki
sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang
makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan
karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah
modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita
keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat
Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi
bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam
Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan
tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan
barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas
mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola,
kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang
yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu,
dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan
mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang
pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah
keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung
jawabnya (Suseno; 1992).
SITUASI BUDAYA INDONESIA
Dalam
pemaparan tentang akar budaya di atas tadi telah kita ketahui bahwa
nenek moyang kita adalah nenek moyang yang tangguh dan bangsa ini telah
mampu melakukan akulturasi secara positif sehingga kita bisa
mengintegrasikan kebudayaan luar untuk meningkatkan budaya sendiri.
Namun kita harus melihat secara riil bagaimanakah keadaan budaya kita
hari ini.
Sajiman
Surjohadiprojo dalam pidato kebudayaannya di tahun 1986 menyampaikan
tentang persoalah kita hari ini, yaitu kurang kuatnya kemampuan
mengeluarkan energi pada manusia Indonesia. Hal ini mengakibatkan kurang
adanya daya tindak atau kemampuan berbuat. Rencana konsep yang baik,
hasil dari otak cerdas, tinggal dan rencana dan konsep belaka karena
kurang mampu untuk merealisasikannya. Akibat lainnya adalah pada
disiplin dan pengendalikan diri. Lemahnya disiplin bukan karena kurang
kesadaran terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku, melainkan
karena kurang mampu untuk membawakan diri masing-masing menetapi
peraturan dan ketentuan yang berlaku. Kurangnya kemampuan mnegeluarkan
energi juga berakibat pada besarnya ketergantungan pada orang lain.
Kemandirian sukar ditemukan dan mempunyai dampak dalam segala aspek
kehidupan termasuk kepemimpinan dan tanggung jawab.
Menurut
beliau kelemahan ini merupakan Kelemahan Kebudayaan. Artinya, perbaikan
dari keadaan lemah itu hanya dapat dicapai melalui pendekatan budaya.
Pemecahannya harus melalui pendidikan dalam arti luas dan Nation and
Character Building (Surjohadiprodjo, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya
Kita; 1999).
Mochtar
Lubis juga dalam kesempatan yang sama saat Temu Budaya tahun 1986,
menyampaikan bahwa kondisi budaya kita hari ini ditandai secara dominan
oleh ciri:
1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan.
2. Kemunafikan.
3. Lemahnya kreativitas.
4. Etos kerja brengsek.
5. Neo-Feodalisme.
6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).
1. Kontradiksi gawat antara asumsi dan pretensi moral budaya Pancasila dengan kenyataan.
2. Kemunafikan.
3. Lemahnya kreativitas.
4. Etos kerja brengsek.
5. Neo-Feodalisme.
6. Budaya malu telah sirna ( Lubis, 1999).
sumber : http://kharismadio.blogspot.com/2012/06/fenomena-konsep-kebudayaan-indonesia.html
0 Response to "FENOMENA KONSEP KEBUDAYAAN INDONESIA "
Posting Komentar