Kedwibahasaan

Bahasa merupakan alat komunikasi di masyarakat untuk saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Sebagaimana dalam kehidupan nyata disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya dan tidak terlepas dari saling ketergantungan diantara keduanya. Bahasa juga merupakan alat pemersatu suatu bangsa. Dan oleh karena itu pula bahasa berperan penting dalam suatu negara.
Secara singkat dikatakan bahwa fungsi bahasa sebagai berikut :
  1. sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan maksud
  2. sebagai alat penyampai rasa santun
  3. sebagai alat penyampai rasa keakraban dan rasa hormat
  4. sebagai alat pengenalan diri
  5. sebagai alat penyampai rasa solidaritas
  6. sebagai alat penopang kemandirian bangsa
  7. sebagai alat penyalur perasaan
  8. sebagai cermin kepribadian bangsa
A. Pengertian Kedwibahasaan
Dalam kebahasaan dikenal pula istilah kedwibahasaan atau yang lebih dikenal dengan bilingual. Berikut beberapa pengertian kedwibahasaan oleh para ahli :
1.   Robert Lado
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa yang dimiliki oleh seseorang
2.   Weinrech
Kedwibahasaan adalah kebiasaan dengan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian.
3.   Francis William Mackey
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Dengan artian kedwibahasaan dijadikan kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Pendapat ini diperluas dengan adanya tingkatan kedwibahasaan yang dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
4.   Hartman dan Stork
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
5.   Leonard Bloomfield
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur aslinya, sangatlah sulit untuk diukur.
6.   Haugen
Kedwibahasaan adalah mengetahui dua bahasa. Secara umum pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seseorang atau masyarakat. Tahu dua bahasa , dengan artian cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
7.   Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga Montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.
8.   Henry Guntur Tarigan
Pengertian kedwibahasaan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, hitam atau putih, tetapi bersifat “kira-kira” atau “kurang lebih”. Dengan kata lain, pengertian kedwibahasaan berkembang dan berubah mengikuti tuntutan situasi dan kondisi.
Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa Kedwibahasaan merupakan penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau masyarakat secara bergantian. Untuk dapat menggunakan dua bahasa, tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa tersebutterlebih dahulu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya, yang disingkat B1. Dan bahasa kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya, disingkat dengan B2.
Orang yang menggunakan dua bahasa disebut orang yang bilingual atau dalam istilah Bahasa Indonesia dikenal dengan Dwibahasawan. Sedangkan kemampuan dalam menggunakan dua bahasa disebut dengan bilingualitas atau kedwibahasaan.
B.  Pembagian Kedwibahasaan
Menurut Chaer dan Agustina ada beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu sebagai berikut :
1.   Kedwibahasaan  Majemuk (Compound Bilingualism)
Kedwibahasaan Majemuk merupakan Kedwibahasaan yang menunjukkan kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan, tetapi bahasa kedua bahasa tersebut berdiri sendiri-sendiri.
2.   Kedwibahasaan Koordinatif/Sejajar
Kedwibahasaan Koordinatif menunjukkan pemakaian dua bahasa secara seimbang oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Ini menunjukkkan bahwa dwibahasawan memahiri kedua bahasa tersebut.
3.   Kedwibahasaan Subordinatif (Kompleks)
Merupakan kedwibahasaan yang digunakan saat seseorang memakai B1 namun sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihadapkan pada situasi yang terjadi pada B1, yaitu sekelompok kecil yang masih mempertahankan B1 namun dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehingga masyarakat kecil ini memungkinkan kehilangan B1 yang dimilikinya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kedwibahasaan, diantaranya adalah :
4.   Kedwibahasaan Awal (Inception Bilingualism) Oleh Baeten Beardsmore
Baeten Beardsmore menambahkankan kedwibahasaan awal (inception bilingualism), yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
5.   Pohl
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada di dalam masyarakat, untuk itu Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe, yaitu sebagai berikut:
a.   Kedwibahasaan Horizontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan situasi dengan pemakaian dua bahasa berbeda namun masing-masing memiliki status yang sejajar, baik dalam situasi resmi, kebudayaan, ataupun dalam kehidupan bermasyarakat.
b.   Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa baik itu bahasa baku maupun dialek yang berhubungan ataupun terpisah, biasanya dimiliki oleh seorang penutur.
c.    Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
Arsenan mengklasifikasikan tipe kedwibahasaan menjadi dua berdasarkan kemampuan berbahasa, yaitu:
1)   Kedwibahasaan produktif atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik, yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
2)   Kedwibahasaan reseptif atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik.
C.  Diglosia dalam Kedwibahasaan
Diglosia merupakan suatu keadaan dimana dua bahasa digunakan dalam masyarakat yang sama, tetapi setiap bahasa mempunyai peran dan fungsi tersendiri dalam konteks sosialnya. Adanya pembagian fungsi bahasa oleh masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor sosial dan faktor situasional. Atau bisa dikatakan bahwa diglosia dipengaruhi oleh faktor-faktor nonlinguistic.
Diaglosia adalah persoalan antara dua dialek dari satu bangsa, bukan antara dua bahasa. Kedua ragam bahasa ini pada umumnya adalah bahasa baku (standard language) dan dialek daerah regional daerah (regional dialect).
D.  Parameter Diglosia/Kedwibahasaan
Mackey mengungkapkan bahwa pengukuren kedwibahasaan dapat dilakukan dengan berbagai aspek, yaitu sebagai berikut :
a)   Aspek Tingkat
Dilakukan dengan mengamati kemampuan memakai unsur-unsur bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon serta ragam bahasa
b)   Aspek fungsi
Dilakukan melalui kemampuan pemakaian dua bahasa yang dimiliki, sesuai dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran kedwibahasaan yaitu faktor internal (faktor pemakaian bahasa secara internal), dan faktor eksternal (faktor luar dari bahasa). Hal ini antara lain menyangkut masalah kontak bahasa yang berkaitan dengan lamanya waktu kontak, dan penekanannya terhadap bidang-bidang tertentu seperti bidang ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain.
c)   Aspek Pergantian
Yaitu pengukuran terhadap kemampuan pemakai bahasa untuk berganti dari satu bahsa ke bahsa yang lain. Kemampuan ini tengantung pada tingkat kelancaran pemakaian masing-masing bahasa.
d)   Aspek Interferensi
Yaitu pengukuran terhadap kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh keterbiasaan menggunakan dialek B1 dalam kegiatan berbahasa.
E.  Konsep dan Kategori Pemilihan Bahasa
Masyarakat dwibahasa (bilingual) yang berbicara dengan menggunakan dua bahasa harus memilih bahasa yang digunakan dalam bertutur. Pemilihan bahasa tidak semudah dan sesederhana yang kita bayangkan, yaitu memilih sebuah bahasa secara keseluruhan dalam suatu peristiwa komunikasi.
Terdapat tiga kategori dalam pemilihan bahasa. Pertama, dengan memilih satu variasi dari bahasa yang sama (intra language variation). Apabila seorang penutur bahasa Jawa berbicara kepada orang lain dengan menggunakan bahasa Jawa krama, misalnya, maka ia telah melakukan pemilihan bahasa kategori pertama ini.
Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu peristiwa komunikasi. Dengan kata lain, konsep alih kode terjadi saat dimana kita beralih dari ragam santai ke ragam formal.
Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing), artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain. Di Indonesia, campur kode sering sekali digunakan saat orang berbincang-bincang yang dicampur ialah bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Peristiwa alih kode dapat terjadi karena dua faktor utama, yakni faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau penghindaran terhadap kata-kata yang tabu.
Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi, dan alih kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan metafor yang melambangkan identitas penutur. Campur kode merupakan peristiwa percampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Di Indonesia, menyebutnya dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
F.   Faktor Pemilihan Bahasa
Pemilihan bahasa dalam interaksi sosial masyarakat dwibahasa disebabkan oleh  berbagai faktor sosial  dan  budaya.  Evin-Tripp mengidentifikasikan empat faktor utama sebagai penanda pemilihan bahasa  penutur  dalam interaksi sosial, yaitu:
(1)    latar (waktu dan tempat) dan situasi
(2)    partisipan dalam interaksi
(3)    topik percakapan, dan
(4)    fungsi interaksi.
Dari berbagai faktor di atas, perlu diperhatikan bahwa tidak ada faktor tunggal yang dapat mempengaruhi pemilihan bahasa seseorang. Ini membuktikan bahwa karakteristik penutur dan lawan tutur merupakan faktor yang paling menentukan dalam pemilihan bahasa dalam suatu masyarakat, sedangkan faktor topik dan latar merupakan faktor yang kurang menentukan dalam pemilihan bahasa dibanding dengan faktor partisipan.
G.   Pendekatan Pemilihan Bahasa
Kajian pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan dengan berdasarkan tiga pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi. Ketiga pendekatan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a)   Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah (domain). Dimana ranah ini merupakan wujud abstrak dari topik komunikasi, hubungan peran antar komunikator, tempat komunikasi di dalam keselarasan lembaga masyarakat dan bagian dari aktivitas masyarakat tutur.
Di sisi lain, ranah juga adalah konsep teoretis yang menandai satu situasi interaksi yang didasarkan pada pengalaman yang sama dan terikat oleh tujuan dan kewajiban yang sama, misalnya keluarga, ketetanggaan, agama, dan pekerjaan. Dengan kata lain, bahasa rendah cenderung dipilih dalam domain keluarga, sedangkan bahasa tinggi dipergunakan dalam domain yang lebih formal, seperti pendidikan dan pemerintahan.
b)  Pendekatan Psikologi Sosial
Berbeda dengan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial lebih menjurus pada proses psikologis manusia daripada masyarakat luas. Pendekatan ini lebih berorientasi pada individu, seperti motivasi individu, bukan berorientasi pada masyarakat. Pendekatan psikologi sosial melihat proses psikologi manusia, seperti motivasi dalam memilih suatu bahasa atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu.
c)   Pendekatan Antropologi
Dari  sudut pandang  antropologi,  pilihan bahasa berkaitan  dengan  perilaku  yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya. Seperti halnya psikologi sosial, antropologi lebih ke bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah dalam psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur. Sedangkan pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaan yang terkandung di dalamnya.

sumber :http://nusavinotti.wordpress.com/2012/03/01/kedwibahasaan/
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to " Kedwibahasaan"

Posting Komentar